Bacaan Alkitab Setahun : Mazmur 134; 2 Korintus 7; 1 Tawarikh 3-4
Seorang pengembara dan seorang tuan tanah akan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap kehidupan. Katakanlah dalam sebuah perjalanan panjang dan lama, mereka bepergian bersama-sama. Di tengah jalan, keduanya kehilangan jalan dan tersesat. Si pengembara yang terbiasa meninggalkan apapun miliknya di rumah tidak perlu merasa kuatir. Sedangkan si tuan tanah yang terbiasa mengawasi bisnisnya seringkali merasa gelisah, tertekan dan kuatir memikirkan harta kekayaannya.
Ketika Abraham dipanggil untuk pergi ke tempat asing yang tidak diketahui arah tujuannya, dia pergi dengan tenang. Mengapa? Dia memiliki mental pengembara dan ia tahu rumahnya yang sejati dan abadi adalah di sorga sana. Dia juga percaya, seperti yang penulis Ibrani katakan, bahwa Allah telah menyiapkan kota yang abadi baginya.
Abraham, pada saat ia dipanggil, telah hidup nyaman dan kaya di kampung halamannya. Jika dia lebih berpegang pada kenyamanan yang ‘dekat', maka dia tidak dapat melihat pada ‘harta' yang jauh namun pasti. Abraham tahu bahwa rumahnya bukan di dunia, tetapi di kota abadi yang Allah telah rancangkan bagi dia.
Memiliki mental tuan tanah selama hidup di dunia ini akan membawa kita kepada kegelisahan dan banyak kekuatiran yang sia-sia. Pekerjaan dan kantor pun bisa menjadi ‘ruang nyaman' yang mengikat jika kita mempunyai mental ‘tuan tanah'. Seorang pengembara hidup bebas, percaya dan berjalan dengan Allah, serta melayani dan memberi termasuk lewat pekerjaannya karena dia tahu dunia bukan rumahnya. Di sana, di kota abadi, itulah tempat perhentian terakhir dan sejati.
Milikilah mental pengembara yang senantiasa menggantungkan hidupnya sepenuhnya hanya kepada Tuhan.